Blusukan ke Desa dengan Harpa
Jessica Sudarta adalah satu dari sedikit pemain harpa atau harpis muda di Tanah Air. Segudang prestasi sudah ditorehkannya. Namun bagi Jessica, tak ada prestasi yang lebih membanggakan dari berbagi ilmu dengan anak-anak di pedalaman.
Lahir di Surabaya, Jawa Timur, 19 tahun lalu, Jessica memang sudah menyukai musik dari kecil. Bermula dari piano dan vokal, sulung dari tiga bersaudara ini akhirnya memantapkan diri pada harpa.
Instrumen yang konon sudah eksis sejak zaman Mesir Kuno itu mulai dipelajari Jessica sejak usia 13 tahun dengan berguru pada harpis muda berbakat Rama Widi. Seiring waktu berjalan, teknik permainan harpa Jessica terus terasah.
Di usia 15 tahun, ia memberanikan diri untuk menggelar debut konser tunggalnya di Surabaya yang dihadiri setidaknya oleh 1.000 penonton. Deretan penghargaan pun semakin membuktikan dirinya sebagai harpis muda yang pantas disegani. Terakhir, ia terpilih sebagai juara pertama kompetisi Best Saint-Saens Performance di Amerika Serikat.
Tak hanya itu, Jessica yang saat ini tengah menjalani program beasiswa S-1 di Peabody Conservatory, Baltimore, AS, untuk memperdalam ilmu harpanya juga pernah sepanggung dengan musisi internasional.
Agustus lalu, Jessica bahkan mendapat kepercayaan untuk bermain bersama orkestra yang mengiringi penampilan diva opera Sarah Brightman di Prambanan Jazz Festival.
Dari sekian banyak prestasi, Jessica mengaku paling bangga bisa terlibat dalam berbagai konser amal dan kegiatan sosial untuk membuka akses pendidikan bagi anak-anak di pelosok.
Itu pula yang menginspirasi Jessica untuk menggagas program ‘Love for Indonesia’. Dalam proyek amal yang digelar setiap liburan sekolah ini, Jessica mengajak murid-murid SMA Surabaya yang mahir bermusik ke daerah terpencil untuk berbagi ilmu dengan anak-anak setempat.
Sebuah desa di Kabupaten Gianyar, Bali, menjadi tempat pertama yang dijamah Jessica dan timnya Juni lalu. Selain musik, mereka juga mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak seumuran SD.
“Tak hanya mereka yang belajar, kami juga belajar main gamelan, tarian daerah, dan melukis. Jadi ini semacam cultural exchange. Anak-anak kota akhirnya lebih mengenal betapa kayanya kebudayaan Indonesia,” ujar penggemar komposer J.S. Bach dan Maroon 5 itu.
Program tersebut berakhir dengan konser mini di mana anak-anak memamerkan aksi musiknya hasil berlatih bersama Jessica dan timnya. Diceritakan Jessica, acara tersebut menjadi momen yang paling berkesan karena membuat kedua belah pihak ‘baper’.
“Semuanya terharu melihat anak-anak tampil. Baper abis-abisan deh. Banyak orangtua di sana yang berterimakasih karena anak-anak mereka mengisi liburan dengan kegiatan positif,” kenang Jessica.
Ditegaskan Jessica, program yang juga didukung oleh bantuan para donatori ini masih dalam pengembangan. Masih banyak kekurangan di sana-sini yang harus diperbaiki untuk memaksimalkan dampak positifnya.
Rencananya, Jessica yang juga pernah membuat album amal untuk memberangkatkan guru-guru ke Papua akan kembali ke desa yang sama bersama tim pada akhir Desember mendatang sebagai kelanjutan dari program tersebut.
Bagi Jessica, tak ada yang lebih indah dari berbagi karena manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan. Selain itu, kehidupan seperti sebuah roda, terkadang di atas atau di bawah.
“Bagi kita yang di atas harus membantu yang di bawah,” ujarnya.
Maka meski harus menimba ilmu di negeri orang, Jessica akan tetap berkomitmen untuk berbagi dengan program amalnya tersebut.
“Jangan pernah lupa akar budaya kita yang dikenal dengan gotong royong dan saling menghargai perbedaan. Selain itu ketika kita belajar jauh-jauh di negeri orang, jangan lupa tetap berkontribusi untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” tutup Jessica.
Sumber: detik.com