Heboh Isu Seputar Registrasi Kartu SIM , Ini Kata Kemendagri
Kebijakan registrasi ulang kartu telepon seluler bukan untuk kepentingan politik. Apalagi jika disebut-sebut untuk kepentingan pihak tertentu memenangkan pemilihan presiden 2019 mendatang.
Menurut Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh, kebijakan registrasi ulang semata-mata untuk melindungi masyarakat dari penipuan, penyebaran informasi bohong dan tertib administrasi.
“Jadi tidak ada untuk kepentingan politik, apalagi untuk kepentingan calon presiden. Pencalonan kan dari partai politik atau gabungan parpol. Bukan independen,” ujar Zudan di Bandung, Senin (13/11).
Mantan penjabat gubernur Gorontalo ini mencontohkan terkait penipuan menggunakan telepon seluler, bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat.
Contoh kasus papa minta pulsa, anak masuk rumah sakit dan lain sebagainya. Kemudian juga kerap digunakan untuk menyebarkan informasi bohong dan penyebaran kebencian.
“Nah kenapa untuk registrasi ulang mencocokkan nomor induk kependudukan (NIK) dengan nomor kartu keluarga, tak lain untuk melindungi masyarakat. Karena sebenarnya, kalau data berbasis NIK saja itu sebenarnya sudah ada di mana-mana. Banyak lembaga bisa dapat data tanpa ke dukcapil,” ucapnya.
Masyarakat selama ini menurut Zudan, sebenarnya juga sering menerima telepon dari lembaga tertentu untuk menwawarkan sesuatu. Misalnya pinjaman tanpa agunan, kartu kredit dan lain sebagainya.
Itu artinya, data pribadi banyak masyarakat juga sudah dimiliki banyak lembaga. Data kemungkinan diperoleh karena untuk mendaftarkan anak masuk sekolah misalnya, seseorang perlu mengisi data.
Demikian juga ketika mengajukan kartu kredit, menginap di hotel dan keperluan lainnya.
“Jadi diperlukan nomor KK untuk pengaman tambahan. Data KK tak bisa dibuka oleh provider. Mereka hanya bisa mengakses untuk mencocokkan NIK dan nomor KK, jadi tak diketahui nama bapak saya, ibu saya dan lain-lain,”katanya.
Saat ditanya bagaimana sekiranya provider nakal, misalnya memanfaatkan data pelanggan, Zudan mengingatkan ada sanksi pidana yang ancamannya hingga sepuluh tahun penjara.
“Kemudian juga ada sanksi administrasi bisa mencapai Rp 1 miliar. Itu belum ancaman pemerintah menghentikan kerja sama (penggunaan data kependudukan untuk registrasi,red), pasti operator itu akan ditutup,” pungkas Zudan.(gir/jpnn)
Sumber: jpnn.com