Tidak Bahagia Karena Berkhayal
Penelitian menemukan, orang yang sering melamun dan berkhayal cenderung kurang bahagia ketimbang orang yang fokus pada realitas.
Di bus, di tempat kerja, di kamar mandi, melamun bisa terjadi kapan pun dan di manapun. Sayangnya, bila pikiran Anda terus-menerus berkeliaran dalam dunia khayalan, peneliti menyarankan untuk mengurangi kebiasaan tersebut.
Peneliti kebahagiaan Dr Matt Killingsworth dari Harvard University sempat merancang sebuah aplikasi ponsel yang ditujukan kepada responden untuk mengetahui sebesar apa dampak berkhayal pada jangka panjang.
Aplikasi tersebut berisi pertanyaan harian seperti bagaimana perasaan Anda, apa yang Anda lakukan, apakah Anda memikirkan hal lain dari apa yang sedang Anda lakukan?
Setelah aplikasi diuji pada ribuan responden, disimpulkan bahwa berkhayal tentang sesuatu yang netral atau negative, ternyata mampu membuat seseorang merasa kurang bahagia dengan cara merusak suasana hati.
Namun, berkhayal yang indah-indah, juga tidak meningkatkan suasana hati sedikit pun.
Killingsworth mengatakan, “Ketika pikiran kita mengembara, saya pikir itu benar-benar menumpulkan kenikmatan dari apa yang kita lakukan.”
“Ini berarti bahwa, tidak peduli seberapa brilian pikiran kita untuk membayangkan skenario yang paling membahagiakan, imajinasi kita tidak akan pernah bisa menyamakan kebahagiaan dari sesuatu yang nyata,” lanjutnya.
Kesimpulanya, melamun dan berkhayal sebenarnya tidak berbahaya dan bahwa 96% dari seluruh orang dewasa melakukannya secara teratur.
Hanya saja, terlalu banyak berkhayal dan menjadi kurang menikmati “saat ini” telah terbukti memiliki konsekuensi. Misalnya, fenomena melamun maladaptif di mana seorang bisa lamunan hingga 15-30 menit, sehingga mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari.
Kondisi tersebut telah diklasifikasikan sebagai kondisi kesehatan mental karena adiktif dan merugikan.
Sumber: Kompas.com